Tuesday, February 14, 2017

Nanya Juga Perlu Mikir

Celotehan ini berawal dari pengalaman pribadi gue selama di bangku perkuliahan so far. Topik ini udah jadi sesuatu yang mengganggu pikiran gue sejak lama. Semakin gue berpikir, semakin otak gue berasep dan gue jadi kesel sendiri. Tapi gue seneng sih, semakin banyak kesel, itu artinya otak gue cukup kepake buat mikir.

Jadi gini, di kelas, gue dan temen-temen dituntut untuk berdiskusi di kelas tentang topik yang dibahas hari itu. Normally, diskusi semacam ini dilakukan di setiap mata kuliah. Embel-embelnya sih supaya sumber informasi dikeluarkan dari dua arah, bukan dari dosen aja atau presentator aja, tapi partisipan di kelas juga bisa bertanya untuk memancing proses diskusi itu. Di kelas gue (Bisnis Internasional), gue dikelilingi temen-temen yang aktif dan enerjik di luar maupun di dalem kelas. Tapi, setelah dua tahun kuliah, gue melihat sesuatu yang lain disini, utamanya di sistem pendidikan Indonesia yang gue kira udah berubah, namun ternyata sama saja.

Awalnya kami dijanjikan skor lebih kepada siapa saja mahasiswa yang aktif bertanya atau mengemukakan pendapat. Automatically, semua orang di kelas berbondong-bondong bertanya dan mengeluarkan pendapat. Tentunya demi nilai yang baik di semester itu. Ternyata, dari awal gue bukan termasuk orang yang seperti itu. Sebuah fakta dari diri gue yang gue sadari karena hal itu adalah gue selalu mikir dulu sebelum bertanya dan ketika gue udah nemu jawaban dari apa yang gue pertanyakan, gue akan pasif dan mengikuti diskusi yang menurut gue kurang begitu membangun. Dalam diskusi di kelas, gue lebih berani untuk menyuarakan opini gue daripada membuka diskusi dengan pertanyaan yang bisa gue dapet jawabannya dengan mikir sendiri or cari solusinya di internet.

Hal yang paling membuat gue greget adalah pertanyaan dari kating gue yang saat itu mengulang salah satu mata kuliah bareng angkatan gue. Ya, okelah gue bisa maklumin mungkin dia emang cari nilai, tapi pertanyaan dia menurut gue saat itu kebangetan. Saat itu temen gue jadi presentator dan dia ngebahas tentang etika bisnis di perusahaan multinasional Asian Pulp and Paper. Ketika kelompoknya selesai presentasi, biasanya akan dibuka sesi pertanyaan. Saat itu gue bener-bener penasaran tentang sebuah topik, sehingga hari itu gue angkat tangan. Unfortunately, gue nggak kepilih untuk menyuarakan pertanyaan di otak gue karena slot maksimalnya cuma tiga pertanyaan (ini juga bikin gue kesel, but let's talk about it later). Si kating ini kepilih dan dia nanya "Kenapa Asian Pulp and Paper jualan kertas dan bukannya kelapa sawit?" Dan saat itu juga dahi gue berkerut dan otak gue nge-freeze dalam beberapa detik, like what the... Itu sama aja kaya nanya "Kenapa Bank Indonesia ngurus duit bukan jualan makanan?"

Seketika itu juga dalam diri gue berkecamuk. Dalam hati gue kesel banget tuh karena gue merasa pertanyaan gue lebih urgent untuk dibahas dan bakal informatif kalo bisa didiskusiin di kelas bersama dengan temen dan dosen gue saat itu. Disitu kekesalan gue nggak cuma satu, tapi numpuk-numpuk. Pertama, karena pertanyaan gue nggak tersampaikan. Kedua, gue merasa kurang dapet kesempatan yang besar di kelas untuk "diskusi" karena semua hal dibatasi, sehingga gue harhs keluar kelas, ke ruangan dosen gue, dan memilih untuk nanya secara personal, tanpa menambah poin gue. Ketiga, kenapa orang-orang males untuk mencari jawaban atas pertanyaan mereka sendiri atau lebih memilih untuk mempertanyakan hal yang uda jelas jawabannya ada di depan mata.

Mungkin gue terlihat arogan disini, but guys if some of you know what I feel. Itulah kenapa gue lebih memilih beropini daripada bertanya tentang hal yang seharusnya gue pikir dulu supaya pertanyaam gue bisa lebih informatif buat orang lain. Dampaknya sudah jelas, poin gue emang nggak lebih baik dari yang lain, tapi setidaknya I got more when I put more efforts to ask myself first and filter my question sebelum gue mempertanyakan hal itu ke khalayak ramai. Memang gue bukan tipe orang yang menganggap IPK adalah segala-galanya. Asal gue bisa bikin bangga orang tua gue dengan prestasi gue, apapun itu gue yakin mereka cukup suportif untuk mengerti keadaan anaknya. Kesimpulan yang gue dapet disini adalah kebanyakan orang melakukan sesuatu cuma buat formalitas. Bahkan di komunitas sekecil ruangan kelas aja mereka bela-belain nyari-nyari pertanyaan cuma buat nilai, bukan karena mereka memang ingin tau. Buktinya, di beberapa mata kuliah yang notabene dosennya tidak menjanjikan "bonus" yang segamblang itu, mahasiswa yang aktif sangat jarang, bahkan bisa dibilang nol. Gue sih sampe have no idea ya about this.

Salah satu dosen gue pernah bilang, "Kebiasaan membaca orang Indonesia sangat rendah. Di bandara aja nih banyaj juga orang yang nanya letak toilet, padahal disana penunjuk arah dimana-mana. Beda sama bule, mereka pasti akan berhenti dulu, trus baca dengan teliti, berusaha nyari dulu, baru kalo mentok nanya." Gue sepenuhnya setuju dengan itu. Beda banget ketika gue lihat lingkungan sekitar gue yang pada males baca sesuatu dan lebih memilih bertanya padahal informasi yang ada udah sangat jelas. Contoh lainnya waktu gue share poster seminar/lomba ke grup dan temen gue nanya "Daftarnya dimana?", "Bayarnya berapa?" Padahal dia tinggal buka posternya ato baca captionnya and voilaaa problem solved!

Gue banyak berdiskusi dengan temen-temen gue yang berasal dari berbagai negara di dunia (yang ikut project gue) tentang kebiasaan ini di negara mereka. Beberapa temen gue dari Eropa such as Belanda dan Perancis bilang yang intinya bisa dibilang "No stupid answer, no stupid question." Untuk orang-orang yang bertanya di kelas akan sangat diapresiasi. Tapi rupanya kalimat itu lagi-lagi nggak bisa gue terima begitu saja apalagi kalo ditujukan untuk komunitas gue. Sama kaya kalimat "Malu bertanya, sesat di jalan" yang rasanya kurang begitu koheren dengan keadaan jaman sekarang yang semuanya serba ada.

Lagi, dimensi budaya orang Eropa memang cenderung maskulin. Artinya mereka lebih subjektif dan begitu aktif untuk mencari informasi (termasuk nggak baperan) dengan membaca, memfilter informasi yang masuk ke diri mereka, kemudian berpikir sebagai bagian dari proses filtering, dan bertanya untuk hal yang memang menjadi perdebatan pikiran atau hal yang memang nggak mereka ngerti. Bukannya asal bertanya tanpa tau terlebih dahulu, akibatnya akan timbul pertanyaan semacam kenapa Asian Pulp and Paper jualan kertas. Judulnya ada udah Pulp and Paper loh. Sumpah, gue nggak ngerti lagi segitunya orang cari nilai.

Lantas, kapan orang Indonesia dan komunitas gue bisa lebih banyak berpikir dulu daripada bertanya hal yang sudah jelas?
Kapan orang Indonesia dan komunitas gue bisa lebih banyak membahas pembahasan sampis semacam ngebully orang dan gosipin selebgram yang bahkan nggak kita kenal?

Menurut gue, anggapan banyak bertanya cuma cocok buat anak-anak atau bocah karena mereka memang dalam fase pengenalan dan mereka emang nggak bisa tau tanpa dibantu. But, for us guys...kita udah bisa mikir kan? Otak kita udah terbentuk sempurna kan? Apalagi untuk pertanyaan yang udah sangat jelas jawabannya terpampang nyata. Terlalu banyak nanya juga bakal jadi annoying banget buat orang yang ditanyain. Apalagi untuk hal-hal yang nggak informatif.

Diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu'bah R.A, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
"Allah membenci bagi kalian tiga perkara : bergosip, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya."
(Hadits Riwayat Bukhari)

Tolong diresapi dan dicari dulu ya maknanya teman-teman :)

Terserah sih kalian mau setuju atau nggak dengan tulisan gue ini atau mungkin ada beberapa pihak yang ke-mention secara sengaja maupun tidak langsung, gue pure mau beropini aja. Gue nulis ini juga buat gue sendiri. Buat pengingat kalo gue jangan jadi seperti orang-orang yang gue tulis di atas. Semisal kalian nggak setuju, gue terbuka untuk diskusi dan dari situ kita bisa banyak tau.



Wildflower,
dari sudut ruangan yang dingin.